

Agama mengakui ada hal-hal jauh di luar kuasa akal sehingga satu-satunya cara untuk 'menjangkaunya' adalah dengan iman (surga atau Yang Mutlak itu sendiri, misalnya).įilsafat jelas tidak bisa menjadikan iman sebagai landasan argumen karena ini berarti mengkhianati 'ruh' filsafat itu sendiri. Bagi filsafat, semuanya relatif (sebuah argumen harus dianggap gugur jika ada argumen lain yang mampu membantahnya). Bagi agama, selain segala sesuatu yang relatif, ada 'Yang Mutlak' yang berlaku untuk segala sesuatu lainnya yang relatif tersebut. Yang pertama melandaskan segala sesuatunya kepada keyakinan akan Yang Maha Esa (melalui tuntunan ayat-ayat Kitab Suci), yang kedua kepada penalaran manusia (melalui argumen yang disampaikan).

Bagi filsafat, semuanya relatif (sebuah argumen har Keyakinan sang pencari kebenaran Meski sama-sama memposisikan diri sebagai 'jalan kebenaran', agama dan filsafat jelas berbeda.

Yang pertama melandaskan segala sesuatunya kepada keyakinan akan Yang Maha Esa (melalui tuntunan ayat-ayat Kitab Suci), yang kedua kepada penalaran manusia (melalui argumen yang disampaikan).īagi agama, selain segala sesuatu yang relatif, ada 'Yang Mutlak' yang berlaku untuk segala sesuatu lainnya yang relatif tersebut. Keyakinan sang pencari kebenaran Meski sama-sama memposisikan diri sebagai 'jalan kebenaran', agama dan filsafat jelas berbeda.
